Tinggalkan Segala Kebimbanganmu ...

Selasa, 08 Februari 2011
Rasul yg mulia shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Tinggalkan perkara yg meragukanmu menuju kepada perkara yg tdk meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.”
Hadits ini merupakan pokok dalam hal meninggalkan syubhat dan memperingatkan dari berbagai jenis keharaman. Al-Munawi rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan salah satu kaidah agama dan pokok dari sifat wara` di mana wara` ini merupakan poros keyakinan dan menenangkan dari gelap keraguan dan kecemasan yang mencegah cahaya keyakinan.”
Al-Askari rahimahullah menyatakan: “Seandai orang-orang yang pandai merenungkan dan memahami hadits ini niscaya mereka akan yakin bahwasa hadits ini telah mencakup seluruh apa yang dikatakan tentang menjauhi perkara syubhat.”
Hadits yg mulia ini diriwayatkan oleh cucu kesayangan dan permata hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib  ketika seseorang yg bernama Abul Haura’ As-Sa`di berta kepada tentang apa yang dihafal dari hadits kakek yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam.

Al-Imam Ahmad rahimahullah dlm Musnad- juga At-Tirmidzi An-Nasa’i dlm Sunan-nya2 mengeluarkan hadits ini dari jalan Syu’bah dari Buraid bin Abi Maryam dari Abul Haura’ dari Al-Hasan bin Ali c. Dan hadits ini termasuk sekian hadits yg dilazimkan/diharuskan oleh Al-Imam Ad-Daraquthni rahimahullah terhadap Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah agar mengeluarkan dlm shahih keduanya.
Hadits ini shahih dishahihkan oleh para imam ahli hadits termasuk di antara Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dlm kitab Ash-Shahihul Musnad Mimma Laysa fish-Shahihain . Sementara perkataan Jauzajani bahwasa Abul Haura’ majhul tdk diketahui keadaan atau tdk dikenal sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah dlm Jami’ul ‘Ulum wal Hikam tdk benar keberadaan krn Abul Haura’ yg nama Rabi`ah ibnu Syaiban As-Sa`di di-tsiqah-kan oleh Al-Imam An-Nasa’i rahimahullah. Berkata Al-`Ijli rahimahullah: “Rabi`ah adl seorang tabi`i lagi tsiqah.” Berkata Al-Hafizh rahimahullah: “Rabi`ah adl tsiqah .”
Lafazh: dlm hadits ini dgn mem-fathah huruf yg pertama bisa pula dgn men-dhammah-nya. Namun yg masyhur dan fasih dgn mem-fathahnya. .
Berkata Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah: “Hadits di atas memiliki kisah.” . Kisah yg dimaksud oleh Al-Imam At-Tirmidzi di sini dibawakan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullah dlm Musnad- . Al-Hasan bin Ali c menceritakan kepada Abul Haura’ bahwa ketika masih kecil ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah lalu memakannya. Melihat hal tersebut kakek beliau yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam segera mengeluarkan kurma itu dari mulut Al-Hasan dan membuangnya. Lalu seseorang berta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apa masalah wahai Rasulullah bila anak kecil ini memakan kurma tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammenjawab:“Sesungguh kami keluarga Muhammad tidaklah halal memakan harta sedekah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :“Tinggalkan perkara yg meragukanmu menuju kepada perkara yg tdk meragukanmu. Karena kejujuran itu adl ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adl keraguan”.
Kandungan Hadits
Hadits ini bila ditinjau secara makna hampir sama dgn makna hadits An-Nu‘man ibnu Basyir:“Siapa yg berhati-hati/ menjaga diri dari syubhat mk sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Dan siapa yg jatuh ke dlm syubhat berarti ia jatuh dlm keharaman”. (Dari kaset Durus Al-Arba‘in An-Nawawiyyah oleh Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dlm hadits yg mulia ini memerintahkan kepada kita utk menjauh dari perkara yg meragukan baik berupa ucapan maupun amalan baik dilarang ataupun tidak. Dan kita disuruh mengambil perkara yg meyakinkan.
Dengan demikian ketika dihadapkan dgn syubhat sebagai suatu perkara yg meragukan krn tdk diketahui halal dan haramnya/ samar keadaan sepantas kita berhenti pada menjaga diri kita agar tdk terjatuh ke dlm dan serta-merta meninggalkannya. Sementara sesuatu yg telah jelas halal kita tahu tdk akan membuat keraguan kebimbangan kegoncangan dan kegelisahan di hati seorang yg beriman bahkan jiwa dgn tenang akan menjalaninya. Sebalik perkara yg syubhat apabila perkara tersebut diamalkan atau dijalani akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan di hati seseorang. .
Berkata Al-Qadhi rahimahullah: “Dalam kejujuran itu ada keberhasilan dan keselamatan sekalipun manusia terkadang memandang di situ ada kebinasaan. mk bila engkau mendapatkan dirimu dlm keadaan ragu terhadap sesuatu tinggalkanlah perkara tersebut. Karena jiwa seorang mukmin yg sempurna keimanan merasa tenang dgn kejujuran yg bisa menyelamatkan diri dari kebinasaan dan akan merasa ragu dgn kedustaan. Keraguanmu terhadap sesuatu merupakan perkara yg dikhawatirkan keharaman mk berhati-hatilah engkau dari perkara tersebut sedangkan ketenanganmu terhadap sesuatu merupakan tanda benar hal tersebut mk ambillah”.
Sebagai permisalan apabila seseorang ragu terhadap suatu masalah apakah hal itu halal ataukah haram mk hendak ia tinggalkan keraguan itu kepada apa yg diyakini atau kepada apa yg halal yg ia yakini atau apa yg tdk ia ragukan. Yang demikian ini berarti ia telah menjaga agamanya.
Demikian pula dlm perkara ibadah ia kerjakan yg ia yakini. Apabila muncul keraguan secara tiba-tiba mk keraguan tersebut tdk bisa menghilangkan keyakinan yg telah ada. Sebagai permisalan apabila ia ragu dlm shalat apakah ia telah berhadats atau tdk atau apakah keluar angin dari dubur atau tdk mk ia tetapkan keadaan sebagaimana yg ia yakini dan ia membuang keraguan yg muncul belakangan.
Kaidah yg digunakan di sini menurut ulama ahli ushul: “Sesuatu yg yakin tdk bisa dikalahkan oleh sesuatu yg ragu.”
Ath-Thibi rahimahullah menyatakan: “Namun tentu yg dapat merasakan dan menimbang hal yg demikian ini hanyalah orang2 yg memiliki jiwa yg bersih dari noda-noda dosa dan aib.”
Bila seorang muslim mewujudkan apa yg dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dlm hadits di atas mk ia akan dapat menjaga kehormatan dari celaan dan menjaga diri agar tdk jatuh ke dlm keharaman. Karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:“Siapa yg berhati-hati/menjaga diri dari syubhat mk sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya.”Perbuatan yg demikian ini akan mengantarkan kepada sikap wara‘ .
Wara‘Wara’ adl suatu sikap meninggalkan perkara yg syubhat krn khawatir terjatuh ke dlm perkara yg diharamkan. .
Berkata Abu Abdirrahman Al-Umari Az-Zahid: “Apabila seorang hamba memiliki sifat wara` niscaya dia akan meninggalkan perkara yg meragukan menuju kepada perkara yg tdk meragukannya.”
Sementara Hassan bin Abi Sinan rahimahullah mengatakan: “Tidak ada sesuatu yg lbh ringan/mudah daripada sikap wara`. Apabila ada sesuatu yg meragukanmu mk tinggalkanlah.” .
Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah di dlm Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 88 berkata: “Wara’ itu memiliki empat tingkatan:
  1. Berpaling dari tiap perkara yg dinyatakan keharamannya.
  2. Wara‘ dari tiap perkara syubhat yg sebenar tdk diwajibkan utk dijauhi namun disenangi bagi utk meninggalkannya. dlm perkara ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tinggalkan perkara yg meragukanmu menuju kepada perkara yg tdk meragukanmu.”
  3. Wara‘ dari sebagian perkara yg halal krn khawatir jatuh kepada perkara yg haram.
  4. Wara‘ dari tiap perkara yg tdk ditegakkan krn Allah dan ini merupakan wara‘ para shiddiqin .”
Sikap wara’ secara mendetail hanya dapat direalisasikan oleh orang yg istiqamah jiwa seimbang amalan dlm takwa dan wara‘. Adapun orang yg suka berbuat keharaman secara zhahir kemudian ia ingin bersikap wara’ dlm berbagai syubhat yg rinci dan tersamar mk hal ini tdk akan mungkin bagi bahkan sikap ini diingkari . Karena itulah Ibnu ‘Umar  mengingkari orang-orang dari penduduk Iraq yg bertanya kepada tentang hukum darah nyamuk. Beliau berkata: “Mereka bertanya kepadaku tentang darah nyamuk sementara mereka telah menumpahkan darah Al-Husain padahal aku telah mendengar Rasulullah bersabda:“Kedua adalah kembangku yg semerbak dari penduduk dunia”. (Jami‘ul Ulum1/283)
Contoh Sikap Wara‘
Jika membaca perjalanan hidup pendahulu kita yg shalih kita dapati mereka adl orang2 yg menyandang seluruh akhlak Islam yg mulia baik akhlak yg wajib maupun yg sunnah. Betapa kalam Allah dan Rasul-Nya menancap di hati-hati mereka dan mengakar di sanubari mereka. Dan tdk cukup dgn itu kita dapati juga mereka adl orang yg bersemangat dlm mengamalkan apa yg datang dari Allah dan Rasul-Nya itu dlm kehidupan mereka sehari-hari. Salah satu akhlak yg bisa kita lihat dari amalan mereka adl wara‘ . Kisah wara‘ mereka di antaranya:
  1. ‘Aisyah mengabarkan bahwa Abu Bakar z pernah mencicipi makanan yg diberikan oleh budaknya. mk budak tadi berkata kepadanya: “Apakah engkau tahu dari mana aku dapatkan makanan ini?” Abu Bakar zbertanya: “Dari mana engkau mendapatkannya?” Budak menjawab: “Dulu di masa jahiliyah aku pernah meramal utk seseorang sebenar aku tdk pandai meramal namun aku cuma menipunya. Lalu orang itu menemuiku dan memberiku upah atas ramalanku. Inilah hasil apa yg engkau makan sekarang.” Mendengar hal tersebut Abu Bakarzsegera memasukkan tangan ke dlm mulut utk memuntahkan makanan yg terlanjur masuk ke dlm kerongkongan kemudian ia memuntahkan semua makanan itu.
  2. Nafi‘ berkata: ‘Umar Ibnul Khaththab zmenetapkan subsidi rutin bagi para shahabat dari kalangan Muhajirin yg awal berhijrah sebanyak 4000 sementara putra ia tetapkan sebesar 3500. Kemudian ada yg berkata kepada ‘Umar: “Bukankah Ibnu ‘Umar termasuk dari kalangan Muhajirin mengapa engkau mengurangi subsidinya?” Umar menjawab: “Ayahnya-lah yg membawa berhijrah. Dia tdk sama dgn orang yg berhijrah sendiri .” 
  3. Yazid bin Zurayi‘rahimahullah mewarisi harta ayah sebesar 500 ribu namun ia tdk mengambilnya. Ayah bekerja utk para sultan sedangkan Yazid bekerja membuat keranjang dari daun kurma dan dari penghasilan itulah yg digunakan utk makan sehari-hari sampai beliau t meninggal dunia.
Banyak lagi bisa kita dapatkan kisah-kisah wara‘ mereka yg bisa dilihat pada perjalanan hidup mereka di kitab-kitab biografi para ulama.
Faedah Hadits
  1. Termasuk sikap wara’ bila seseorang berhati-hati dan menjauh dari perkara syubhat.
  2. Perkara yg halal akan menenangkan hati dan tdk menggelisahkannya.
  3. Sementara perkara yg syubhat membekaskan keraguan di hati dan akan menggelisahkan demikian pula perkara dosa.
  4. Dengan menjauhi syubhat seseorang dapat menjaga agama dan kehormatannya.
  5. Sangat menjaga diri dari perkara syubhat hanya pantas dilakukan oleh orang yg lurus jiwa dan bertakwa serta memiliki sifat wara‘ adapun orang yg biasa terjun dlm lumpur dosa dan maksiat kemudian dia ingin bersikap wara‘ dlm menghadapi syubhat mk ini diibaratkan wara‘ yg hambar tanpa makna.
  6. Ketika berhadapan dgn sesuatu yg samar tdk jelas halal atau haram mk hal tersebut dapat ditimbang dgn hati. Kemudian apa yg menenangkan hati dan melapangkan dada berarti itu adl kebaikan dan halal. Bila sebalik tdk menenangkan di hati mk dikhawatirkan hal itu sebagai tanda keharaman dan dosa. Namun perlu diperhatikan di sini agar sebelum hati itu memutuskan sesuatu hendak tdk ada kecondongan sebelum kepada perkara tersebut atau tdk ada hawa nafsu yg mempengaruhinya.
  7. Hadits ini merupakan satu kaidah agama yg agung “Keyakinan tdk bisa dihilangkan oleh keraguan.”
  8. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diberikan jawami`ul kalim sebagaimana dikandung dlm hadits ini.
Wallahu a‘lam bish-shawab.

0 komentar:

:10 :11 :12 :13
:14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21
:22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29
:30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37
:38 :39 :40 :41
:42 :43 :44 :45

Posting Komentar