Belajar Al-Qur'an Itu Mudah ..... !

Kamis, 10 Februari 2011
TIDAK susah ternyata mempelajari Alquran. “Allah sendiri, kok, yang menjanjikan. Coba baca surat Al Qomar ayat 22, Allah mengulangnya sampai empat kali,” ujar Nandi Setiana, ketika Kampus bertemu dengannya di Masjid Al Jihad Unpad Dipati Ukur, Selasa (25/9).

Dai yang lebih kondang dengan nama Abu Robbani ini bisa dianggap sebagai salah seorang yang memopulerkan istilah tahsin tilawah atau perbaikan bacaan Alquran dengan bermacam tekniknya pada Muslim di Kota Bandung hingga kini di Indonesia. Teknik yang dikembangkannya, antara lain, Tartila dan QRQ (quantum reading quran) menyebar dalam pengajaran di kelas, kaset, VCD yang telah dicetak puluhan ribu kopi. Pendekatan mengajarnya dianggap sebagai terobosan untuk mempelajari Alquran lebih mudah dan praktis tanpa meninggalkan kaidah.”Hahaha.., hihihi…, pake dhommah! hu hu hu.., nah itu, bisa! Ayo coba lagi,” ujar Abu.

Jangan mengira suasana riang seperti ini terjadi di ruang kelas taman kanak-kanak atau play group. Ya, 20 orang yang bernyanyi gembira ini hampir sebagian besar sudah mengenyam TK di zaman revolusi dulu alias kini mereka sudah nenek-nenek. Walaupun begitu, semangat mereka begitu kencang tatkala ustaz Abu menjelaskan betapa mudahnya mengucapkan ha besar. “Jadi, nggak sulit kan, Bu?! Itu ha besar, tidak harus dipaksa di dada,” kata Abu sembari melanjutkan, “Nah, ha kecil juga biasa. Kayak bilang papah-papah ini teh sah nggak pah? Kata papah sah atuh mah“.


Ibu-ibu majelis taklim yang ikut pengajian ustaz Abu di kawasan Jln. Dipati Ukur Kota Bandung, malah tertawa-tawa kecil. “Hihihi.., nah itu ibu-ibu tertawa, itu teh pake ha kecil, kan biasa, hanya kita saja yang nggak nyadar,” tutur Abu.Abu seolah ingin meyakinkan kepada para ibu tadi, betapa sebenarnya banyak contoh pengucapan dalam bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah huruf hijaiah (huruf Alquran). “Yang kita lakukan sebenarnya membuat pengajaran Alquran ini lebih sederhana dengan contoh-contoh mudah yang ada di masyarakat,” ujarnya. Teknik pengajaran yang menyenangkan dan praktis, memang telah lama dikembangkan oleh Abu. Semenjak mengajar mahasiswa di Masjid Salman ITB tahun 1996 dan turut mendirikan Maqdis (lembaga pelatihan Alquran dan Islam) tahun 2000, Abu banyak berperan dalam menyosialisasikan pengajaran tahsin yang lebih mengena di hati masyarakat.

Istilah ayun untuk mengucapkan kaidah mad dan tahan untuk kaidah gunnah dia perkenalkan hingga kini populer di kalangan masyarakat Muslim. “Itu istilah saya saja untuk lebih mendekatkan pengajaran pada mereka yang belajar,” ujar jebolan STAI At Taqwa Bekasi ini. Kini, usaha mantan penjual mi ayam ini sudah banyak menuai hasil. Bersama lembaga yang dia bangun tahun 2002, LTQ Jendela Hati dan beberapa lembaga tahsin Alquran yang sempat dia kembangkan, pengajaran tahsin Alquran dengan metode yang praktis dan mudah (Tartila & QRQ) menyebar hingga ke pedalaman Tabalong Kalimantan.

Untuk mengenal lebih jauh sosok peserta terbaik Dauroh Quran bersama Imam Masjid Jeddah, Syaikh Abdullah Shonan tahun 1998 ini, berikut obrolannya bersama Kampus.

Mengapa Anda mengajarkan Alquran dengan cara yang berbeda dari yang pernah ada sebelumnya. Apakah metode terdahulu ada kelemahannya?

Saya ingat dulu pernah membaca di “PR” bahwa 75% Muslim di Kota Bogor tidak bisa membaca Alquran. Juga saya pernah membaca, bahwa 70% mahasiswa di Jawa Barat tidak bisa membaca Alquran. Saya lalu bertanya-tanya mengapa ini bisa terjadi. Saya lihat pengajaran Alquran selama ini identik dengan susah lalu membosankan juga gurunya galak! Padahal dalam surat Al Qomar ayat 22 disebutkan, “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Alquran untuk pelajaran (li dzikri), maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”. Li dzikri dalam tafsir artinya dibaca, dihapalkan, dikaji, diamalkan, jadi mudah, mengapa jadi berkesan susah. Saya analisis lagi, ternyata metodologi, cara pendekatan ke santri atau jemaah salah, tidak sistematis. Nah, ini yang coba kita kemas.

Kemasan seperti apa yang ditawarkan?

Alquran kan standar, tajwid dari dulu sama. Cuma sekarang dikemas bagaimana tajwid yang njelimet menjadi sesuatu yang menyenangkan. Bisa diringkas, kita bisa membentuk orang lebih fasih mengucapkan ikhfa dibandingkan dengan yang belajar sekadar mengetahui ilmu ikhfa. Ini hanya masalah pembahasaan, contoh bila kita belajar ahkamul mad (tanda baca panjang dalam Alquran), hukum mad yang njelimet ada mad asli, mad thobii, mad lazim. Itu sebenarnya bisa diringkas bahwa semua huruf yang bertanda panjang itu mesti diayun 2 harakat. Toh, banyak orang yang teorinya benar 2 harakat, tetapi pada praktiknya kadang jadi 4 atau 5 harakat. Jadi, perangkatnya bukan dengan hitungan 2, 4, 5 tapi ayun kecuali yang ada tanda bendera. Kalau ada tanda bendera suaranya memanjang, ini sudah masuk ahkamul mad sebenarnya.
Jadi teori tidak dipelajari di awal?

Belum saatnya. Saya mengklasifikasikan pembaca Alquran sebagai: pemakai, sekadar penikmat, dan pengedar. Ini sekadar bahasa aja, karena yang saya hadapi adalah orang-orang umum. Ini hanya tahapan. Pertama kali, kita ngajarin Alquran nggak mikiran bagamana ngajarin ini ikhfa, idgom, nggak. Yang jadi target, bagaimana orang yang belajar pada saya jadi senang dulu baca Alquran deh, menumbuhkan kesenangan dulu, lalu kecintaan pada Alquran, istilahnya jadi pemakai.

Makanya, kalau orang yang belajar Alquran pada saya, awalnya nggak pernah disalahkan, pasti kalimat pertama yang saya ucapkan bagus. Motivasi dulu. Sehingga, orang jadi senang, ternyata mudah, ya. Nanti dengan senangnya dia membaca, ketagihan, seringnya dia mendengar Alquran otomatis tuh nanti akan terlatih. Seperti belajar baca dalam bahasa Indonesia, faktor penentunya banyak berlatih. Nah, itu yang kita coba tekankan. Banyak latihan dan untuk berlatih Alquran itu sulit kalau nggak menikmati, kalau nggak senang. Kalau bahasa dakwah, at talif qobla taklif. Ikat dulu hatinya, empati, sampai dia oh, ya… merasa butuh, dekat, terikat hatinya dengan Alquran dengan majelis dan pengajar Quran. Itu aja dulu.

Biasanya kalau udah at talif, tanpa dibebani dulu orang merasa nyaman, enak, mau dibetulin kaya gimana juga ngikut. Seperti orang yang belajar sepeda, barangkali, nggak perlu dikenalkan dulu ini ban, jari-jari. Yang penting, orang bisa jalan dulu, ngayuhnya enakeun bisa nyaman, naik sepeda, tidak jatuh-jatuh lagi. Dia tahu waktu mengerem, tahu waktu ngaboseh, waktu belok. Nanti, kalau dia udah nyaman bersepeda, kalau ada kerusakan, ini namanya pentil lho, ini jari-jari, gitu. Itu yang kita lakukan. Alquran juga begitu, jalan aja dulu deh yang penting enak dulu, yang penting standar, yang penting ketagihan dulu. Kalau orang sudah jadi pemakai, tergerak tuh. Kayanya nggak bagus tuh bacaannya, baru dia membutuhkan sesuatu yang lebih lagi. Kita sebagai pengedar, pada tahapan lebih tinggi ada TFT (training for tahsiners) di sana kita kasih detail, ikhfa itu apa, secara bahasa, terminologi. Sehingga, bukan sekadar mampu mengemas praktis, tetapi memahami sehingga bila ada permasalahan yang terkait, dia bisa menjawab dengan benar.Efektifkah?Saya pernah mengajar beberapa karyawati sebuah perusahaan telekomunikasi. Awalnya mereka pada nggak pake kerudung. Dengan pendekatan, kita dikesankan bahwa Alquran itu mudah, lho dan menyenangkan. Setelah mereka bisa berinteraksi dengan Alquran, merasa mudah dan menyenangkan, lama-kelamaan banyak yang jadi pake kerudung. Ternyata mereka nggak pake kerudung salah satunya karena malu nggak bisa baca Alquran. Dengan pendekatan yang kita lakukan, mereka jadi senang. Jadi, sebenarnya tahsin itu hanya langkah awal saja. Tujuan kami sebenarnya untuk lebih mengenalkan umat Islam pada Alquran. Bukan hanya diyakini sebagai kitab suci umat Islam, tetapi dijadikan pedoman hidup. Kalau lihat Alquran, ya, dulu orang ahlul kitab dicap sebagai orang yang ummiy karena mereka sifatnya hanya baca-baca aja, tanpa amal. Kita sekarang baca aja susah. Jangankan untuk mengamalkan. Bagaimana dia mau mengamalkan kalau tidak paham. Bagaimana dia mau paham kalau tidak membaca. Semua berawal dari iqro.

Tidak lama setelah wawancara selesai, seorang Bapak menghampiri Ustaz Abu, seraya berkata, “Waduh ustaz senang sekali bertemu lagi. Dulu saya belajar di Habib (masjid PT DI) lalu lewat VCD, nikmat rasanya. Pingin saya belajar Alquran lagi,” ujar pria tua tersebut. Ustaz Abu pun tersenyum pada Kampus dan berkata, “Target kita seperti itu”.***


0 komentar:

:10 :11 :12 :13
:14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21
:22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29
:30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37
:38 :39 :40 :41
:42 :43 :44 :45

Posting Komentar