Setiap tanggal 14 Februari, selalu ada tragedi. Pastinya membuat kita prihatin, sedih, dan juga kecewa campur marah. Mengapa harus prihatin dan sedih, padahal justru di tanggal 14 Februari itu banyak orang merayakan hari kasih sayang? Karena standar penilaian kita sebagai muslim seharusnya berbeda dengan cara pandang orang-orang selain Islam. Apa yang kita pandang baik, bisa salah dalam pandangan mereka. Apa yang mereka pandang baik, besar mungkin salah dalam pandangan kita sebagai muslim. Karena apa? Karena kita berbeda cara pandang sejak awal dalam menyikapi kehidupan ini. Itu letak masalah yang harus kita perhatikan.
Contohnya adalah Valentine’s Day. Banyak orang sigap dan gempita menyambut hajatan ini. Duit yang dikeluarkan demi pesta Valentine’s Day bukan lagi yang perlu dinilai rugi, tapi malah dianggap sebagai investasi. Alasannya: “Merayakan kasih sayang, tentu saja perlu pengorbanan. Uang sekadar alat tukar untuk membeli apa yang kita inginkan. Sama seperti ketika ortu kita mengeluarkan duit untuk biaya sekolah atau kuliah kita. Itu tandanya mereka sayang kepada kita, sehingga uang yang dimilikinya rela ditukar dengan biaya pendidikan kita, dan berharap kita kehidupannya jadi lebih baik.”
Benarkah alasan mereka? Belum tentu, bahkan bisa jadi keliru. Sebab, yang utama esensinya bukan pada “cinta dan pengorbanan untuk cinta”, tetapi letaknya pada: “apakah benar atau salah dalam mengekspresikan cinta dan pengorbanan itu.” Di sinilah perlunya memahami cara pandang Islam. Kita sebagai muslim, kadang nggak ngeh dengan cara Islam mengatur kehidupan. Inilah letak masalah kita. Semoga kita mau berpikir lebih mendalam, jernih dan ideologis.
Valentine’s Day bukan semata hari kasih sayang yang netral tanpa dinodai dengan kepentingan ideologi. Tidak. Hajatan Valentine’s Day memang disetting sedemikian rupa agar pesta yang berasal dari tradisi kaum pagan di jaman Romawi kuno ini diminati, dianggap sebagai bagian sakral dalam kesucian cinta, dijejalkan kepada benak kaum muslimin bahwa mereka harus merayakan Valentine’s Day atau minimal menerima sebagai sebuah realitas yang harus dihargai dalam kehidupan saat ini. Bahkan dalam tataran para pemilik modal, momen Valentine’s Day adalah saatnya jualan, saatnya dagang beragam pernik yang melekat erat identik dengan suasana pesta tersebut: coklat, boneka cupid, gaun pesta, dan sejenisnya. Begitulah ketika cinta dianggap netral, lalu disalah tafsirkan dan bahkan dikapitalisasi.
Bro en Sis ‘penggila’ gaulislam, di awal tulisan ini, saya juga menuliskan bahwa kita seharusnya kecewa dan marah. Lho, kenapa harus kecewa dan marah justru di saat orang gembira menebarkan aroma kasih dan sayang? Jiahahah.. itu cuma kedok sesuai kepentingan pemilik opini yang sengaja menyesatkan jalan pikir manusia. Kita sebagai muslim memang harusnya kecewa dan marah. Kecewa campur marah karena banyak remaja muslim atau para orang tua dari keluarga muslim ikut nyebur dan berbasah kuyup dalam kubangan nista bernama Valentine’s Day. Apakah belum mengerti juga bahwa pesta itu bukan berasal dari ajaran Islam? Atau, jika sudah tahu, kenapa tak mau tahu dengan terus memaksakan diri menghamba kepada arus utama penyesatan opini ini? Well, semoga bukan karena sombong dan hendak menantang kebenaran Islam.
Ketika taklid buta merajalela
Wadduuuh, nih bahasane serius bener. Hehehe.. sekali-kali bolehlah kita serius, Bro. Oya, mungkin sebagian dari kamu nggak ngeh istilah taklid buta. Kalo kudu dijelasin sih, taklid itu artinya mengikuti. Nah, kalo digabung dengan kata “buta”, maka jadinya taklid buta alias ngikutin tanpa tahu alasannya. Intinya, ngikut forever dah, sing penting gaul alasan klisenya. Piye iki rek? (sori pake bahasa planet Majapahit nih. Hehehe..)
Nah, lebih gawat bin bahaya kalo taklid buta sudah merajalela di semua aspek kehidupan dan melanda semua lapisan masyarakat. Contohnya ya, Valentine’s Day itu. Jelas-jelas bukan berasal dari Islam, tapi malah banyak kaum muslimin, khususnya remaja yang ngikut aja tanpa tahu masalahnya. Nggak ngecek bener apa salahnya, nggak ngerasa harus meragukan sama sekali. Sebaliknya malah berprinsip: “Hajar aja bleh! Yang penting gaul, bisa menyalurkan rasa cinta rame-rame, apalagi difasilitasi dan diberikan tempat layak dengan opini yang gemerlap. Apa itu salah?” Hadeuuuh.. ciloko tenan rek, kalo cara berpikir kamu kayak gini! (backsound: bisa-bisa diketawain orang gila! Amit-amit! )
Boyz and galz, kebodohan di masa lalu seharunya menjadi pelajaran supaya jangan diulang di masa sekarang. Eh, nyatanya kita masih tetap aja menyanjung nilai-nilai nenek moyang jaman baheula yang belum tentu benar semua, apalagi yang sudah jelas salah.
Kalo tidak tahu gimana? Ya, jangan nekat ngelakuin. Harus cari tahu dulu sebelum berbuat. Menurut Umar bin Khaththab ra: al-ilmu qobla al-‘amal (ilmu dahulu, sebelum beramal). Betul. Jadi, harus tahu tentang sesuatu sebelum sesuatu itu dikerjakan atau diikuti. Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS al-Israa’ [17]: 36)
Sobat Sobit Rohis, taklid buta makin lestari ketika masyarakat secara massal ogah belajar. Sepertinya mereka senang berada dalam zona nyaman kebodohannya tanpa mau menerima kebenaran yang ada di sekitarnya. Buktinya, banyak orang “Say No to Valentine’s Day”, eh, mereka enak-enakan bikin acara “Happy Valentine’s Day”. Itu kan namanya kalo bukan bodoh ya nggak mau tahu alias saudara kembarnya sombong.
Logika berpikir sederhana kan gini: “Kok ada sih orang yang menentang Valentine’s Day? Kenapa ya?” Nah, itu langkah awal untuk cari kebenaran. Bukan malah berpikir: “Ah, itu kan pendapatnya dia. Pendapat saya kan ini.” Waduh, itu sih secara tidak langsung nggak mau nyari kebenaran, tapi mengedepankan pembenaran (apalagi sesuai hawa nafsunya semata).
Sebaliknya, orang cerdas dia juga akan bertanya: “Mengapa ya ada orang yang bela-belain bikin acara Valentine’s Day, padahal itu kan bukan dari ajaran Islam?” Lalu dia tidak berhenti dengan pertanyaan itu. Cari jawabannya dan bandingkan dengan standar yang pasti,yakni kebenaran ajaran Islam. Insya Allah ada jawabannya kalo nyarinya di tempat yang benar. Jangan di tempat yang salah ya.
Sayangnya, tradisi berpikir “skeptis” untuk mencari jawaban yang benar demi mendapatkan keyakinan yang utuh dan ajeg seringkali diabaikan. Banyaknya sih manut saja kepada pembuat opini. Padahal, tujuan memproduksi informasi itu juga tak lepas dari cara pandang. Makanya, info dan opini dari pemilik media satu dengan media lainnya bisa berbeda. Itu karena perbedaan kepentingan, Bro en Sis. Waspadalah! Tetap berpegang-teguhlah kepada ajaran Islam.
Lalu bagaimana dalam kondisi seperti ini? Percayalah kepada Allah Swt. dan RasulNya dengan menjadikan Islam sebagai ideologi kita. Islam yang akan mengatur segala aspek kehidupan kita, dari mulai bangun tidur hingga tidur lagi. Jadikan Islam sebagai jalan hidup kita. Bagaimana agar tahu aturan dan batasan dalam Islam? Ya, belajar deh jawabannya. Belajar secara intensif dan rutin. Untuk urusan belajar ini, kru gaulislam insya Allah bisa bantu deh. So, kontak aja via email atau SMS ya.
Cinta tidak netral
Kecintaan orang kafir dengan cintanya seorang muslim jelas berbeda. Karena memiliki pandangan tentang kehidupan yang berbeda. Maka, tujuan dan cara menempuhnya juga berbeda. Bahkan bisa jadi bertentangan dan menentang satu sama lain. Itu artinya, cinta tidak netral (yang netral cuma band, lho kok jadi ke sini?).
Maka, 14 Februari, bagi kaum muslimin yang sadar dan beriman, adalah tragedi salahnya ekspresi cinta. Gara-gara salah ekspresikan cinta, maka akan merusak nilai dan kesucian cinta itu sendiri. Ujungnya, akan menghilangkan kehormatan manusia dan menjerumuskannya ke dalam kubangan nista hawa nafsu yang mendompleng keindahan cinta.
Bro en Sis, dengan demikian. Sudahlah, tak perlu maksain ikut-ikutan Valentine’s Day, cukup tragedi 14 Februari berhenti di tahun lalu aja. Jangan diulang di tahun ini. Sebagai muslim, yang layak dijadikan sandaran hanyalah ajaran Islam. Ideologi Islam. Bukan ajaran lain atau ideologi lain. Sebab, cara pandang yang disusupi sebuah ideologi akan bertentangan dan bahkan menentang ideologi lain. Kita, kaum muslimin seharusnya menyandarkan alasan hanya kepada ideologi Islam. Bukan kepada ideologi lain. Jika ada kaum muslimin yang masih merengkuh nikmat semu dalam selingkuh dengan ideologi lain, itu artinya sedang menempuh jalan sesat dan perlu disadarkan sesegera mungkin.
Oya, buat kamu yang penasaran dengan asal-usul Valentine’s Day yang memang bukan berasal dari ajaran Islam, kita udah bahas di banyak artikel. Silakan kunjungi website kami, www.gaulislam.com. Cari dan dapatkan sepuasnya. Gratis.
Yuk ah, berbenah diri, jadikan Islam sebagai cara dan jalan hidup kita. Belajar dengan rajin dan tetap semangat berdakwah.
Akhirul keyboard: jaga diri, jaga keluarga, bebaskan mereka dari budaya kufur macam Valentine’s Day ini. Semangat! [solihin: osolihin@gaulislam.com]
: gaulislam edisi 173/tahun ke-4 (11 Rabiul Awwal 1432 H/ 14 Februari 2011)
0 komentar:
:14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21
:22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29
:30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37
:38 :39 :40 :41
:42 :43 :44 :45
Posting Komentar